lakon sederhana,
“Ketika keserakahan merupakan sebuah
sifat
Kepedulian tak lagi diutamakan
Kemegahan itu arus, namun keindahan
tak kalah penting
Teknologi perlu, namun kesenian tak
boleh dilupakan”
Jaman globalisasi memang sedang edan-edannya, bagaimana dengan seni ?
Haruskah hal itu dilupakan ?
Haruskah itu menjadi sebuah masa lalu yang akan hilang di
telan waktu ?
BABAK I
RUANGAN DI PENUHI SUARA BISING YANG
MENGGEMA MEMENUHI SELURUH RUANGAN, 2 ANAK SALING BERCERCA.
(Layar di buka)
Ana
Sudah kamu saja duluan !
Rinto
Ahh kau sajalah !
Ana
Kamu saja !
Rinto
Kau ini, kau sajalah !
SUARA MEREKA DI REDAM OLEH SUARA
SESEORANG DI RUANG LAIN YANG BERTERIAK KERAS, TIDAK MAU MENGALAH DAN TIDAK
MEMPEDULIKAN SUARA LAIN.
Suara 1
Pokoknya itu diganti !
Suara 2
Begini Pak ! Kami sangat ingin
mengembangkan wilayah ini dengan cara kami Pak.
Suara 1 (menentang)
Alahh, kan masih ada tempat lain !
Suara 2
Ia pak, saya tahu tapi…..
Suara 1
Ahh, bacot (marah, suara mengeras) itu dulu, sekarang sudah beda. sekarang
orang menginginkan hal baru (terdiam sesaat). Jika kalian tetap melanjutkan,
saya terpaksa menghasut penduduk untuk menghentikannya.
Suara 2
Tapi kemarin kan sudah ada (mencoba
berbicara sopan). dan juga……
Suara 1
Ahh, sudahlah (terdiam beberapa saat)
!
SUARA KERAS SEKETIKA ITUPUN LENYAP
BERSAMAAN SUARA LANGKAH KAMI YANG SEMAKIN LAMA MENJAUH. DATANG SEORANG PRIA
BERUMUR 45 TAHUN. MUKA KERIPUT, RAMBUT SEDIKIT PUTIH, KULIT COKLAT PEKAT,
MEMAKAI CELANA PANJANG HITAM DAN BAJU CORAK BATIK.
(datang menggaruk-garuk kepala, muka
sedikit kesal namun berusaha tersenyum)
Jarot
Hei, kalian sedang apa ? Kenapa tidak
latihan ? ayo, sana !
Rinto
Om, itu tadi siapa ? Suaranya keras
sekali ! Bah, seperti tak punya sopan santun saja.
Jarot
Teman (mencoba agar kekesalannya
tidak terlihat pada raut mukanya)
Ana
Kenapa dia marah-marah Pak ? Memang
Bapak salah apa ?
Jarot
Gak papa (diam
ssejenak), sudah sudah, kalian latihan sana !
(Mereka bergegas pergi)
Jarot
huahh (menyandarkan dirinya pada
kursi empuk). Ibu..ibu (suara mengeras) buatin
kopi ya bu ?
Suminah
(menyahut)
(Terdengar suara kecil) Ya pak
(Beberapa saat kemudian)
Ini pak, kopi hitam pekat buatan
istri Bapak tercinta, kesukaan Bapak. Hati-hati masih panas Pak !
Jarot
Makasih Bu. (meminum sesendok kopi
buatan istrinya) Seperti biasa Bu, nikmat tapi gulanya kurang (menggerutu).
Suminah
Bapak nanti diabetes kalo kebanyakan gula. (Terdiam beberapa
saat) Kenapa toh pak ? Mukanya lusuh
banget, ada masalah apa ?
Jarot
Pak Marno tadi datang. Dia bersih
keras kalo pengadaan alat musik tradisional dan peralatan seni tidak perlu ada.
Katanya hanya akan membuang uang saja. Dia ingin meggantinya untuk penambahan
komputer-komputer yang ada. Katanya seni sudah tidak jaman lagi, yang
dibutuhkan di dunia ini hanya teknologi dan teknologi.
Suminah
Jangan mau Pak. Seni itu juga perlu,
itu sudah menjadi ciri khas bangsa kita kok malah mau ditinggalin ? Waktu Ibu masih jadi “bunga desa” di kampung ini, Ibu
paling suka baca puisi dan main teater. Dulu Bapak paling suka waktu aku
berperan jadi janda desa.
Jarot
(mengalihkan pembicaraan)
Ia bu, makanya tadi Bapak bersihkeras
untuk menolaknya.
Suminah
Huh (cemberut), memangnya Pak Marno
tidak pernah merasakan sewaktu kecil, seni Indonesia juga berperan penting
waktu jaman penjajahan dan juga jaman Indonesia tertindas karena ketidakadilan.
Jarot
Begitulah Bu, dia kan dulu Anak Introvert. jadi wajar saja sikapnya
seperti itu.
Suminah
Dia kan belum pernah merasakan hal
yang sama seperti kita ya pak ? Jadi mudah saja melupakan perjuangan para
sastrawan-sastrawan nasionalis.
Jarot
benar, padahal mereka juga
berjuangkan ketidakadilan dengan cara mereka. (Terdiam beberapa saat) Eh kok malah ngomongin orang. Ibu udah buatin makan untuk anak-anak blum ?
Suminah
(kaget)
Astaga, lupa ! gara-gara Bapak nih, ajakin ngomong !
Jarot
loh, kok aku ? Sudah buatin sana !
Suminah
Minyak goreng habis Pak, minta uang
bli di warung sebelah (tangannya mengadah) !
Jarot (merogoh
kantong kanan celananya)
Ini uang makan seminggu, jangan di
pakai beli yang lain (sedikit menyindir)
Suminah
(tersenyum, merayu)
Makasih Pak (sedikit mengurut). saya
berangkat dulu
TERDENGAR SUARA KETUKAN PINTU
TERDENGAR DARI LUAR. MEREKA BERDUA SONTAK MENOLEH KE ARAH DATANGNYA SUMBER
SUARA.
Jarot (sedikit
teriak))
Masuk..masuk
SEORANG PRIA BERUMUR KIRA-KIRA 34
TAHUN, CELANA PANJANG, BAJU KEMEJA ABU-ABU BERGARIS, MEMAKAI KACAMATA MASUK
SAMBIL MEMBAWA MAP BIRU DITANGAN KANANNYA
Jarot
(tersenyum)
Wah, nak Kunto (saling bersalaman). Mari duduk dulu ? (setelah Kunto
duduk) Ibu, tolong buatin kopi buat nak Kunto
?
(Suminah masuk kedalam)
Kunto
(langsung mencela)
Waduh ngak usah repot-repot Pak, saya hanya sebentar.
Jarot
Sudah tidak apa-apa. (Terdiam sesaat)
Nah bagaimana program kita ? Pak Lurah sudah menyetujuinya kan ?
Kunto
Sudah Pak, beliau dengan senang hati mau membantu
Jarot
Baguslah kalau begitu, kita tinggal
membuat surat-suratnya saja.
Kunto
(ragu-ragu)
Mmmm…. Tapi begini Pak, kata Pak Lurah
program tersebtu dapat beliau setujui jika para penduduk turut ikut andil dalam
kegiatan tersebut. Jadi harus ada persetujuan dari penduduk sekitar.
(terdiam sesaat)
kemarin, dari cerita yang saya
dengar, para penduduk sebagian besar tidak setuju jika diadakan sanggar seni yang
renAaanya akan di bangun dekat “warnet” besar milik Pak Marno. (berbisik pelan)
Katanya, Pak Marno sudah memprovokasi warga, agar program tersebut tidak terencana.
Wargapun termakan kata-katanya. Katanya dia ingin memperluas warnetnya sehingga
dia memerlukan lahan lagi. huh…(bersungut-sungut) dasar orang yang tidak
memiliki nilai kesenian !
Jarot
Yah, mau diapakan lagi, tapi bagaimanapun
caranya saya akan tetap memperjuangkan program itu. Sehingga orang-orang di
daerah kita, para pemuda kita dapat mengetahui kesenian yang telah
memperjuangkan dan mengembangkan Indonesia tercinta kita. tidak hanya facebook, twitter dan dunia maya atau game
online saja yang mereka tahu tapi juga perlu sosialisasi dengan orang lain
bukan dengan sebuah layar putih banyak tombol yang berbunyi “tik…tik” (seolah
menyindir). Salah satu caranya dengan mengadakan sanggar seni didaerah kita.
Kunto
(tersenyum, takjub)
Benar sekali Pak, sewaktu saya kecil
kakek saya menceritakan perjuangan-perjuangan Chairul Anwar membela bangasa
Indonesia, saya merasa bangga menjadi pemuda Indonesia. karena itu saya
mendukung penuh Bapak untuk mengadakan sanggar seni di daerah kita.
(terdiam beberapa saat, melihat jam)
Maaf Pak, saya pulang dulu, saya masih
ada urusan lain.
Jarot
Oh ia, hati-hati di jalan nak.
(saling bersalaman lalu Kunto pergi)
(beberapa saat kemudian, Suminah masuk membawa kopi)
Suminah
(kaget)
Loh, Kunto mAna ? Kok hilang
? Padahal ini kopi sepeesiiaaaall
buatanku.
Jarot (datar)
Sudah pulang, kamu kelamaan !
Suminah
(sedikit sedih)
Yah, Bapak ini loh masa ngak suruh nunggu sampai kopinya jadi ?
Tuh Bapak minum lagi lah kopi ini ?(menyadurkan kopi baru)
Jarot
(terlihat sedih)
Bu, program yang kami rencAnakan terhalang oleh penduduk
setempat, katanya…..
Suminah
Pak Marno lagi ? Hah ada-ada saja
orang itu (kesal). (mencoba menyemangati) Tapi jangan putus Pak, masih banyak Anak-Anak dan para pemuda yang setuju dengan rencAna bapak, itu nak Kunto
salah satunya.
Jarot
Ia, benar sekali. Makasih dukungannya
Bu, pokoknya saya akan memperjuangkannya. Rabu depan saya akan menghadap Lurah memberikan surat lamaran.
(meminum kopi yang baru di buat,
berlari masuk, terdengar teriakan)
Jarot
Peehhh(memuntahkan kembali kopi
tersebut) ! Apa yang Ibu masukkan kedalam kopi tadi ?
Suminah
(heran, meminum sedikit kopi tersebut)
Astaga (kaget), maaf sepertinya
garam.
Jarot (marah)
Ahh Ibu ini, bagaimAna kalau tadi sampai diminum nak Kunto
? (diam beberapa saat kemudian) MAna
makAnannya Bu ? Sudah siap belum ?
Suminah
(matanya membelalak)
Maaf, beli minyak dulu (sambil
berlari keluar)
(layar di tutup)
BABAK II
SEBUAH RUANGAN KANTOR, TERDAPAT
BENDERA MERAH PUTIH DI SAMPING MEJA KAYU YANG PENUH DENGAN TUMPUKAN
KERTAS-KERTAS, DI ATASNYA TERPAMPANG SANG GARUDA BERSAMA GAMBAR SANG PEMIMPIN.
2 ORANG BERPAKAIAN RAPI, YANG SATU MEMAKAI BAJU KEBESARAN DINAS, MENGENAKAN
TANDA PENGENAL PADA BAGIAN KANTONG, SEDANG YANG LAIN MEMAKAI SEPATU LARAS
MODERN, BERKACAMATA TEBAL, BOTAK, PERUT BUNCIT SALING BERBINCANG.
Marno
Hahahaha….(tertawa puas) BagaimAna Pak ? jika ini di setujui maka Bapak akan mendapatkan untung
yang besar dan segani warga. Hahahahaha…
Lurah
Boleh saja, tapi lahan tersebut sepertinya sudah diajukan
oleh Pak Kunto, dan dia ingin
mendirikan sanggar seni, dan saya rasa programnya cukup menarik.
Marno (menghasut)
Pak Lurah yang
saya hormati, sebenarnya si Jarot
itu hanya memanfaatkan situasi Pak. Dia hanya berpura-pura membuat sanggar tapi
sebenarnya dia hanya ingin menempatinya sebagai rumahnya itu, Pak Lurah lih…..
PERBINCANGAN ITU TERHENTI OLEH SUARA KETUKAN PINTU.
Lurah
Ia, silahkan masuk !
KUNTO DAN JAROT PUN MASUK DENGAN MEMBAWA MAP BIRU. TERLIHAT TATAPAN KESAL DAN
TAJAM DARI MARNO SEOLAH-OLAH INGIN MENCEKRAMNYA.
Jarot (tersenyum)
Selamat pagi Pak Lurah,
Pak Marno
(Marno mengacuhkan saapan Jarot)
Lurah (membalas)
Selamat pagi Pak Jarot,
de Kunto. Ada yang bisa saya bantu ?
Jarot
Begini Pak, soal masalah kemarin, kami sudah menyiapkan
berkas-berkas yang di perlukan. Tinggal memeinta persutujuan dari Bapak selaku Lurah Kepala Desa, sekiranya bapak
berkenan, Bapak bisa menandatangani surat-surat kami Pak.
Marno (langsung menyela)
Mmm… Boleh saya liat surat-suratnya ?
Jarot (tersenyum)
Silahkan Pak.
(memberikan surat-surat tersebut)
Marno (memeriksa dengan teliti)
Kalo boleh tahu(mata tajam), siapa yang akan mengajar di
sanggar ini ?
Jarot
Oh untuk itu saya punya teman-teman teater sewaktu muda dulu yang
bersedia membantu saya. Saya pun dengan senang hati membantu Anak-Anak yang kurang percaya diri agar lebih pede lagi. Di dalam teater kita di tuntut untuk lebih percaya diri
(Pak Lurah
menganggukkan kepalanya seola terkesima)
Marno (semakin kesal dengan jawaban tersebut)
BagaimAna biaya
yang di perlukan untuk pembuatan sanggar ini
?
(menunggu jawaban dengan senyuman yang seolah menusuk)
Jarot
Unuk hal itu saya sudah mempersiapkannya dengan uang yang
sudah saya tabung, saya sangat ingin Anak
muda jaman sekarang tidak terisolasi dengan dunianya sendiri tapi saya ingin
mereka juga melihat indahnya seni Indonesia yang beragam dari semua suku.
(Marno semakin kesal, menggaruk kepala botaknya)
Marno
Ini ! (menghempaskan lembaran surat-surat itu di atas meja)
(terdiam sesaat)
kalau saya tidak salah dengar banyak penduduk yang kurang
setuju diadakan sanggar seni di kawasan tersebut, kira-kira mengapa demikian ?
(Kunto tak kuasa
marah dan langsung menjawab dengan lantang )
Kunto
Itu karena anda menghasut penduduk sekitar untuk menolak program
kami ! Anda seharusnya malu, anda hanya ingin mencari untung dari pembatalan
sanggar ini. Padahal kami para pemuda sangat ingin mengenal seni Indonesia !
(Jarot memncoba
meredakan amarah Kunto)
Marno (kaget)
Hah ! Apa maksudmu (marah) ! Pak Lurah, anda bisa liat sendiri kelakuan yang ingin mendidik pemuda
kita apakah seperti ini ?
Jarot
Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya,atas kelakuan kami Pak
Marno.
Marno
Tidak, saya telah di permalukan !
BEBERAPA SAAT KEMUDIAN TERDENGAR SUARA KETOKAN PINTU. SUARA ANAK-ANAK NYARING TERDENGAR MEMANGGIL NAMA JAROT.
Rinto (membujuk Jarot)
Om ayo latihan om ?
Ana
Ia, Pah. udah di tunggu sama anak-anak lain tuh
Marno (kesal)
Eh eh, apa-apaan ini ? Lihat Pak Lurah, anak-anak yang tidak
bermoral, main nyelonong aja !
Seperti tidak ada aturan. Pokoknya Pak Lurah harus membatalkan pengadaan
sanggar itu, dari pada moral anak-anak kita berakhir seperti ini.
(Rinto menyela)
Rinto
Suaranya om ini sepertinya saya kenal ?
Ana
Ia ya, sapa ya ?
Rinto
Kalau tidak salah…..
Ana
Bapak yang marah-marah sewaktu dirumahku kan ? (melanjutkan)
Rinto
Ia benar, o mini yang teriak-teriak dan marah-marah minggu
lalu, kenapa om marahi om Jarot ?
Marno (marah)
Eh, maksud kalian apaan ? dasar anak tidak tahu diri !
Kunto (heran)
Rinto ! Ana ! Apa maksud kalian ?
Ana
Begini Kak, minggu lalu Bapak ini datang kerumah kami dengan
marah-marah, dia mengatakan tentang mengganti atau dia akan menghasut para
warga. tapi saya tidak tahu apa yang diganti.
Rinto
Benar Kak
Kunto (mulai paham)
Oh, saya mengerti sekarang. Anda datang kerumah Pak Jarot, dan ingin mengganti sanggar
tersebut dengan perluasan usaha anda (menatap Marno). banar kan ? (menunjuk
marno)
Marno
Apa maksudmu ? Jangan asal menuduh jika tak ada bukti !
Lagipula, mereka adalah anak-anak, di beri permen saja sudah bisa berbohong.
Kunto
Pak Lurah, Bapak bisa lihat sendiri
apa yang saja terjadi, Pak Marno hanya menginginkan Keserakahan saja. Sedangkan
kami hanya ingin meneruskan apa yang di wariskan oleh pembela bangsa.
Marno
Apa maksudmu ? Pak Lurah bisa melihat
apa yang baru saja dia katakan !
Jarot
(melerai)
Sudah, sudah (terdiam beberapa saat),
Pak Lurah yang saya hormati, Pak Marno, sebenarnya saya ingin mengadakan
sanggar ini sebagai kesadaran semata. Sekiranya Bapak berkenan, kami merasa
sangat senang, kalaupun Bapak tidak menyetujuinya tidak menjadi masalah bagi
kami, karena saya mencintai seni Indonesia. Tapi kami tak ingin karena semua
ini terjadi perselisihan di antara kita semua.
(Jarot
berbalik membereskan surat-suratnya)
Marno (senang)
Baguslah jika kalian sadar.
Lurah
Pak Marno !.
Marno
Ia Pak ?
(Menandatangani surat-surat dari Pak Jarot)
Lurah
Maaf Pak Marno, saya lebih tertarik
pada proposal Pak Jarot. Karena sifatnya memang mendidik
Marno (heran)
Tapi Pak, bukankah teknologi lebih
mendidik dari seni yang tak seberapa itu ?
Lurah
Pak Marno, perlu Bapak ketahui bahwa
Indonesia menang bukan karena teknologi. Namun, ada rasa perjuangan yang tinggi
yang mengalahkan teknologi itu. Dan saya melihat itu di diri Pak Jarot.
Jarot
Terima kasih Pak, saya yakin akan
berusaha semaksimal saya untuk mengajarkan pemuda kita tentang seni itu.
Marno (Mencela)
Hah, dasar serakah kau Jarot !
(marah)
Jarot (heran)
Kenapa Pak ?
Marno
Sudah Suminah, lahan tempatku mencari
uang juga kau rebut. Dasar serakah !
(pergi sambil mengmbil telepon di
sakunya)
Hallowwaaaduuuhhhhhhh punggungku !
(terdengar bunyi jatuh)
Lurah
Ada apa itu ?
(Ana dan Rinto berlari melihat)
Rinto
Hahahaha...(tertawa lepas) om yang
marah-marah tadi jatuh ! Hahahahaha
(seketika itu juga semua orang yang
berada diruangan itu tertawa terbahak-bahak)
(tirai di tutup)
Epilog
kisah ini mencerminkan kita sebagai selayaknya pemuda dalam
masa globalisasi untuk tidak meninggalkan kesenian kita sebagai sebuah kenangan
masa lalu yang ditinggalkan, kesenian haruslah menyatu dengan perkembangan
teknologi sehingga terjadi keseimbangan yang timbal-balik antara keduanya.